Demi Allah, dunia ini dibanding akhirat ibarat seseorang yang mencelupkan jarinya ke laut, dan air yang tersisa di jarinya ketika diangkat, itulah nilai dunia (HR Muslim)

Jumat, 30 April 2010

Menjadi Orang Biasa Yang Sederhana

Ini bukanlah puisi, tapi sekedar renungan dari gelisahnya hati, tentang harta pinjaman yang Allah titipkan pada kami ..

Apalagi yang harus dicari di dunia, selain mempersiapkan bekal menuju kesana?
Aku takut berlimpahnya harta akan menyilaukan mata dan hatiku.
Takut nyamannya rumah dan kendaraan membuatku tak lagi mampu meletakkan harta di tangan, tapi telah jauh meracuni hatiku.
Dan aku sungguh takut dengan ujian harta ini.

Aku bukan tak ingin kaya.
Juga tak ingin hidup miskin.
Aku hanya ingin memilih selalu hidup sederhana.
Aku ingin menjadi orang biasa.

Biarlah rumah kami begini, apa adanya, asal keluargaku dapat berteduh dan beristirahat, terhindar dari panasnya matahari dan basahnya hujan. Rumah model kampung dan tak mengikuti tren arsitektur terbaru. Tak harus mewah, tak harus terlihat indah dan artistik.

Aku malu pada Rasul yang hanya tidur di atas tikar kasar tiap harinya, sementara di rumahku tersedia kasur spring bed yang kadang terlalu memanjakan penggunanya sehingga terlambat sholat berjamaah.

Aku malu pada Syekh Ali Ghuraisyah, yang hanya menjadikan krak botol minuman yang ditutup sehelai kain lusuh untuk meja dan kursi tamunya. Sementara di rumahku ada beberapa kursi, meskipun kuno dan bukan sofa, yang cukup enak diduduki.

Aku malu pada Usamah Bin Ladin, yang tak memiliki satu buah furnitur pun di rumah keempat istrinya, sementara untuk amal sosial dengan mudah dia akan mengeluarkan cek senilai ratusan juta dollar.

Mereka bukan orang miskin, tapi mereka adalah orang-orang yang memilih untuk hidup sederhana.

Biarlah kendaraan kami biasa saja, sepeda motor yang sudah cukup berumur dan mobil kuno 1990-an yang sudah berkarat di beberapa sisinya. Asal dengan itu telah mampu membantuku beraktivitas dan menghemat banyak hal dalam perjalanan.

Aku malu pada Rasul dan Abu Bakar, yang menempuh perjalanan Makkah-Madinah dengan berjalan kaki, padahal mudah bagi beliau untuk meminta diperjalankan oleh Allah dengan Buraq sekalipun.

Aku malu pada Syekh Hasan Al-Banna & Syaikh Umar Tilmisani, yang lebih memilih naik kereta kelas ekonomi untuk berdakwah di seantero Mesir, meski secara finansial sangat mampu untuk naik kereta kelas di atasnya.

Aku malu pada pemuda Taufiq Wa’i, yang tak mau hanya sekedar naik taxi seperti saran bunda Zainab Al-Ghazali, karena khawatir tak mampu menyikapi fasilitas itu dengan benar.

Biarlah kemana-mana aku ingin naik angkutan umum kelas ekonomi, selagi fisik mampu diajak berkompromi. Bukan naik taxi atau kelas eksekutif. Bukan karena sayang mengeluarkan uang, tapi sungguh bersama orang-orang berbagai tipe di kelas ekonomi itu, banyak pelajaran yang dapat kuambil, dan itu mampu melembutkan hati.

Biarlah aku memiliki baju secukupnya saja, tak harus mengikuti model terbaru. Yang penting masih utuh dipakai dan cukup pantas dilihat orang. Aku takut menjadi penganut paham materialis, berburu berbagai koleksi baju, kerudung, tas, alat tulis, perlengkapan elektronik... bukan karena perlu tapi hanya sekedar ingin.

Aku malu pada khalifah kelima, Umar bn Abdul Aziz, yang setelah menjadi khalifah justru memilih jenis pakaian yang paling kasar dan paling murah pada pedagang yang sama, hingga membat takjub si pedagang karena sebelumnya sang Umar adalah seorang yang sangat memperhatikan penampilan.


Aku bahagia, saat melihat pak NN dengan istri dan ke-6 anaknya yang kecil-kecil dapat berteduh di salah satu rumah kami tanpa bayar sejak 8 tahun lalu. Jujur, melihat kehidupan perekonomian mereka yang makin membaik, kadang tergoda untuk mulai menerapkan prinsip ’profesional’ dengan perjanjian sewa.

Tapi, Astaghfirul-Lah.. kembali kutepis keinginan itu. Mungkin, justru lewat wasilah doa-doa tulus pak NN-lah, Allah selalu memberikan rezki yang berlebih padaku dan keluarga. Ya Rabb, biarkanlah rumah itu menjadi ladang amal pintu pembuka rahmatMu bagi kami.

Aku bahagia, meski piutang-piutang kami untuk berbagai keperluan pada beberapa orang tak kunjung terbayarkan sampai berbilang tahun bahkan berpuluh tahun. Aku pun tak ingat lagi persis jumlah nominalnya. Aku percaya, mereka semua bukan tak mau membayar, tapi belum mampu membayar.

Tentu mereka malu untuk tiap waktu hanya menghubungi lalu mohon maaf dan meminta penangguhan waktu pembayaran. Mereka juga manusia, yang memiliki izzah. Biarlah, mungkin mereka butuh waktu. Mungkin Allah sedang mengajarkan arti ikhlas pada kami. Biarlah, kalau memang ternyata sampai nanti pun tak mampu terbayarkan, Allah yang akan menggantinya dengan yang lebih baik. Insya Allah....

Bahkan, mungkin dari mulut-mulut merekalah, teman-teman yangn membutuhkan itu, meluncur doa-doa ikhlas untuk kami sekeluarga, yang langsung didengar Allah di Arsy sana, hingga Allah berikan kemudahan rizki pada kami.

Aku ingat, salah seorang teman yang sudah cukup lama berhutang sekian juta, demi mengetahui bahwa aku akan menunaikan ibadah haji beberapa tahun lalu, dia mengirim sms: "Semoga hajimu mabrur ya Ning. Jangan lupa aku titip doa, doakan aku agar semua masalahku terangkat, kehidupanku menjadi lebih baik, dan aku dapat segera menunaikan kewajibanku pada kalian yang sudah tertunda sekian tahun.

Aku malu sebetulnya bicara begini. Tapi aku tahu, kalian bisa menerima dengan lapang".
Hiks, sungguh aku terharu dan menetes air mataku membaca sms itu.

Ya Allah, Alhamdulillah
telah Kau berikan rizki padaku dan keluargaku, lebih dari yang kami butuhkan.
telah Kau karuniai aku dengan suami sholeh, yang selalu mengingatkanku tentang amanah harta dan anak.
telah Kau anugerahi aku anak-anak soleh solehah yang mampu menjadi penyejuk hati.
telah Kau berikan padaku ilmu yang mempermudahkanku menjemput rizkiMu

Ya Allah, mudahkanlah kami untuk selalu berbagi, melalui rizki yang Kau titipkan pada kami.

Hindarkan dari hati kami orientasi selalu mencari keuntungan duniawi.
Ijinkan dan biarkanlah sebanyak mungkin orang dapat ikut menikmati rizki ini.
Kami ingin setiap rupiah yang mengalir lewat tangan kami, juga bermanfaat untuk saudara-saudara kami.

Sayup-sayup, kudengar refrain nasyid Antara Dua Cinta-nya Raihan

Tuhan, leraikanlah dunia, yang mendiam di dalam hatiku, karena disitu tidak ku mampu, mengumpul dua cinta.
Hanya cintaMu, kuharap tumbuh.... diibajai bangkai dunia yang kubunuh ...




KACAMATA KESEDERHANAAN

Kekayaan (yang hakiki) bukanlah dengan banyaknya harta. Namun kekayaan adalah hati yang selalu merasa cukup. (HR. Bukhari Muslim)

Kacamata ini tidak bisa dibeli dan memang tidak dijual. Namun dengan kacamata ini pandangan anda mengenai dunia akan semakin indah dan terbuka. Tidak perlu mengeluarkan uang bila ingin memilikinya yang anda perlukan hanya keinginan kuat untuk belajar sebuah ilmu untuk kemudian ‘siap’ untuk berubah.

Kesederhanaan dalam definisi materi tentu saja tidak boros. Adil, membelanjakan rizki secara proporsional bahkan menekan seefisien mungkin. Punya banyak daya beli namun tidak membeli banyak sesuatu yang tak perlu. Kesederhanaan yang ini benar-benar mengikuti aturan Islam seperti sesuai dengan Firman Allah dalam Surat Al-Isra ayat 26-27:

“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” [QS.Al Isra (17):26-27]

Namun percayalah kacamata kesederhanaan membawa kita lebih dari itu. Kacamata kesederhanaan senantiasa membawa sifat syukur. Memandang terlebih dahulu apa yang sudah terasakan baru bisa melihat kelebihan.

Bukankah kita sudah bosan menjadi orang yang bosan dengan handphone yang dirasa kuno? Atau lelah dengan motor yang selalu mogok? Atau pasrah dengan otak yang tak sepintar teman sebelah?

Tak ada cara lain selain menjawab semua pertanyaan tersebut selain memandang hidup penuh kesederhanaan.



Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, “Pandanglah orang yang berada di bawahmu (dalam masalah harta dan dunia) dan janganlah engkau pandang orang yang berada di atasmu (dalam masalah ini). Dengan demikian, hal itu akan membuatmu tidak meremehkan nikmat Allah padamu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Itulah yang akan membuat seseorang tidak memandang remeh nikmat Allah karena dia selalu memandang orang di bawahnya dalam masalah harta dan dunia. Ketika dia melihat tetangganya memiliki rumah mewah dalam hatinya mungkin terbetik, “Rumahku masih kalah dari rumah tetanggaku itu.”

Namun ketika dia memandang pada orang lain di bawahnya, dia berkata, “Ternyata rumah sifulan dibanding dengan rumahku, masih lebih bagus rumahku.” Dengan dia memandang orang di bawahnya, dia tidak akan menganggap remeh nikmat yang Allah berikan. Bahkan dia akan mensyukuri nikmat tersebut karena dia melihat masih banyak orang yang tertinggal jauh darinya.

Berbeda dengan orang yang satu ini. Ketika dia melihat saudaranya memiliki Blackberry, dia merasa ponselnya masih sangat tertinggal jauh dari temannya tersebut.

Akhirnya yang ada pada dirinya adalah kurang mensyukuri nikmat, menganggap bahwa nikmat tersebut masih sedikit, bahkan selalu ada hasad (dengki) yang berakibat dia akan memusuhi dan membenci temannya tadi. Padahal masih banyak orang di bawah dirinya yang memiliki ponsel dengan kualitas yang jauh lebih rendah.

Inilah cara pandang yang keliru. Namun inilah yang banyak menimpa kebanyakan orang saat ini.

Bersyukur dulu bahwa handphone yang sama telah membawa kita pada banyak silaturahmi yang terputus jarak dan waktu. Lalu berpikir seandainya memaksakan diri membeli yang lebih canggih mampukah/butuhkah? kita menggunakannya sesuai manfaatnya? Sungguh tak bisa dipercaya mendengar bahwa orang yang selalu menciptakan handphone tercanggih adalah orang yang menggunakan handphone kuno dan hanya berfungsi untuk menelpon dan SMS saja.

Motor mogok bukan juga alasan untuk lelah bila kita berpikir bahwa sebelumnya kita pasti pernah menggunakan transportasi umum yang setiap pagi berkejaran dengan waktu serta asap knalpot. Bahkan seandainya mau duduk sebentar dengan kakek nenek kita pastilah kita malu bahwa mereka pernah melintasi gunung hanya demi sekolah atau mencari pekerjaan.

Lebih disesali bila memang kita pasrah pada kondisi kita tak mau belajar. Kepintaran itu bukan karunia melainkan usaha. Software yang ada di otak untuk menyerap informasi sama seperti otak semua orang, bedanya orang pintar memaksimalkan semua indra-nya untuk mencari ilmu baru.

Sederhanakan cara berfikir kita bahwa tak selalu orang yang lebih pintar adalah orang yang berani nyogok dosen atau les di tempat-tepat mahal. Siapa tahu mereka menyedikitkan waktu tidurnya untuk belajar. Dengan memandang demikian bukan tidak mungkin kita ikut termotivasi untuk menirunya. Berkat ke-positifan kita berpikir dunia akan lebih indah.

Semakin kita pandai memandang betapa dunia ini memberi kita lebih dari yang kita harapkan maka dapat dikatakan anda sudah pandai mengatur diri penuh kesederhanaan. Hanya persoalan waktu kita akan semakin menyadari bahwa kesederhanaan membawa segala kemewahan.

Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (ni'mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (ni'mat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih" [QS.Ibrahim (14):7]

Kamis, 29 April 2010

Sehari sebelum APRILku yang suci berlalu.

Pada hari ini, dua puluh tujuh tahun yang lalu, ibuku melahirkanku. Kesunyian meletakkanku di hadapan dunia yang penuh dengan kebisingan, perbedaan, pertentangan dan peperangan. Kini aku telah menyaksikan siklus matahari sebanyak dua puluh tujuh kali. Adapun bulan, aku tak tahu entah sudah berapa kali ia mengitari bumi. Aku telah menempuh perjalanan tahunan bersama bumi, bulan, matahari dan bintang.

Namun meskipun demikian, aku sampai saat ini belum juga dapat mengetahui rahasia-rahasia di balik cahaya dan tidak juga dapat mengenal misteri yang tersimpan di dalam kegelapan.

Sejak dua puluh tujuh yang lalu, tangan zaman telah menggoreskan untukku sebuah makna di dalam buku alam kehidupanku. Setaip tahun, renungan, pemikiran dan kenangan hadir berdesak-desakan di dalam jiwaku seperti saat ini. Setiap tahun, prosesi hari-hari yang telah berlalu berhenti di hadapanku untuk mempertontonkan bayangan malam-malam yang telah aku lewati.

Pada hari ini, hadir di hadapanku makna-makna kehidupan masa lalu bagaikan sebuah cermin kecil. Aku hanya dapat melihat berlama-lama pada cermin itu, tapi tak ada yang bisa kulihat di cermin itu selain angan, impian serta harapan yang keriput laksana wajah seorang kakek-kakek.

Kemudian, aku menutup mataku dan melihat ke cermin itu sekali lagi, namun yang kulihat hanya wajahku. Aku kemudian melototiku wajahku, tapi aku tidak melihat apapun di wajahku selain kedukaan. Ketika aku mencoba berdialog dengan kedukaan itu, kudapati ia dalam keadaan membisu... diam seribu bahasa. Padahal jika ia dapat berbicara, aku yakin niscaya apa yang akan dikatakannya akan lebih manis dari yang kuduga.

Selama dua puluh tujuh tahun berlalu, aku telah banyak memikul kekejaman para penguasa yang tamak. Aku juga pernah menyaksikan buah tangan para penegak hukum yang selalu berbuat melampaui batasan moral.
Namun selalu saja orang-orang kuat itu dikalahkan oleh perjalanan hari dari waktu ke waktu.

Dalam dua puluh tujuh tahun, aku banyak merenungi kekejaman zaman terhadap kehidupan dan merasa prihatin terhadap mereka yang kemarin tidur di rumah dengan nyaman, tapi kini harus rela berdiri dari kejauhan, meratapi kota yang indah dengan rintihan perih dan ungkapan yang pahit.

Saat itu yang aku tau hanyalah bahwa zaman sedang mengantarkanku tuk menyaksikan proses terbaliknya harapan menjadi suatu keputus asaan,suatu kegembiraan menjadi kesedihan dan kenyamanan menjadi suatu siksaan.
Sebuah kenangan telah membuatku terdiam.

Itulah kehidupan, ada begitu banyak kejadian yang terpentaskan di atas permukaan bumi ini. Banyak hal yang membuatku bahagia dan berbagai macam pula hal yang memaksaku tuk tenggelam dalam duka.

Dalam perjalananku di dua puluh tujuh tahun ini, aku telah banyak mencintai, banyak hal yang kucintai tapi ternyata dibenci orang-orang, sedangkan hal-hal yang kubenci, ternyata itulah yang dianggap baik oleh orang-orang.

Tapi itulah mereka... aku tidak akan pernah bersedia meluangkan serta membuang banyak waktuku untuk memikirkan hal apa yang mereka lakukan, karena saat aku mulai melayani kehidupan mereka, maka tentu saja saat itu aku tengah tenggelam dalam sebuah kolam kebodohan.

Yang aku cintai saat ini akan tetap kucintai sampai aku mati, sebab menurutku cinta adalah segala sesuatu yang dapat kuperoleh dan tak seorangpun yang dapat menghilangkannya dariku.

Pada saat ini, aku hanya sanggup terdiam sambil mengenang kembali kehidupan masa lalu yang telah terlewatkan olehku, seperti diamnya pengembara yang sedang berhenti untuk melepaskan panas dan gerah setelah menempuh perjalanan yang panjang dan melelahkan.

Dalam diam, aku mencoba memandang ke setiap sudut kehidupanku, tetapi aku tidak melihat gambaran masa lalu yang menunjukkan kepada sang alam bahwa kehidupan tersebut pernah menjadi milikku.

Begitulah aku menghabiskan waktu dan usiaku selama dua puluh tujuh tahun. Malam dan siangku pergi susul menyusul, berjatuhan dari hidupku seperti daun-daun pepohonan yang berserakan tertiup angin di musim kemarau yang berkepanjangan.

Aku tak pernah mendapatkan apapun dalam musim demi musim di perputaran tahun-tahunku selain kebodohanku menjalani hidup selama dua puluh tujuh tahun ini.

Seperti itulah seorang Hasan Al Yamaani, manusia yang tak pernah memiliki daya dan upaya tanpa sentuhan dari tangan Si Penggenggam Alam Semesta dan tanpa bantuan do'a dari mereka yang ada dalam lembaran hidupku.

Tanpa ALLAH.. Dan tanpa kalian wahai sahabat dan saudaraku,.. aku bukan siapa-siapa...
Aku hanya seorang manusia yang akan menjadi tua dan akan mencapai kesempurnaan usia.

Kita hanyalah seseorang yang akan kembali kapada ALLAH S.W.T.

Insya ALLAH... !!! Bersama zaman, mari kita terus berjalan menuju kesempurnaan.



MOHAN DO'A & DUKUNGANNYA, SEMOGA ALLAH S.W.T DAN RASULULLAH S.A.W SENANTIASA ADA BERSAMA KITA UNTUK MENJADI PEMBIMBING DAN PENUNTUN UNTUK KITA DALAM MENAPAKI HARI-HARI YANG TERSISA DALAM PERJALANAN HIDUP INI, - AAMIIN -

Rabu, 28 April 2010

Diriku Dalam Renungan

Pada Malam Dengan Keheningan dan Gelapnya
Dalam butiran cahaya bintang yang bertaburan
Kurenungi hakikat penciptaanku sebagai makluk bumi
Kucurahkan semua rasio ku tuk berfikir.

Betapa kecilnya diriku ini
Seseorang diantara taburan manusia yang perpijak pada bumi
Betapa kecilnya bumi ini
Sebuah planet diantara taburan bintang dan galaksi.

Betapa besarnya alam semesta ini
Luas dan masih tak terjelajahi dengan teknologi masa kini
Betapa maha besarnya pencipta alam semesta ini
yang telah mencipta dengan keindahan dan harmoni.

Pada Siang Dengan Keriuhan dan Terangnya
Dalam hiruk-pikuk aktifitas penduduk bumi
Kurenungi hakikat penciptaanku sebagai manusia
Kucurahkan semua rasio ku tuk memahami.

Ku terlahir di dunia sebagai seorang bayi
Dalam asuhan dan bimbingan orang tua
Untuk belajar menjadi Khalifah di muka bumi
Dan beribadah kepada ALLAH yang maha ESA.

Menjalani takdir ALLAH berupa Ujian dan Cobaan di dunia
Dibekali dengan Nafsu dan Akal Fikiran
Dituntun dengan kitab Alquran
Serta Alhadist melalui Rasul-NYA.

Senang, susah, sedih, gembira
Menangis, tertawa, termenung, ceria
Pasrah, khawatir, ikhlas, kecewa
Resah, tenang, derita, bahagia.

Dinamika kehidupan dalam pasangan rasa
Tertahta dalam hati sebagai nuansa
terwujud dalam tindakan dan aksi
dalam diri seorang pribadi.

Kebaikan akan dibalas dengan kebaikan
Kejahatan akan dibalas dengan kejahatan
Itulah hukum yang berlaku bagi manusia di dunia ini
yang tak bisa terlepas dari aksi-reaksi.

Episode bergulir seperti sebuah roda putar
Kadang diatas, kadang dibawah
Mencari puzzle hikmah dalam tempaan kehidupan dunia
Berharap ridho dari Allah Sang Pencipta.

Puji, caci, cinta, benci
Jujur, dusta, sayang, dengki
Benar, Fitnah, rela, iri
Jumpa, pisah, datang, pergi

Dinamika kehidupan dalam pasangan aksi
Terjadi dalam kehidupan sehari-hari
Tindakan ditabur saat ini
Balasan dituai di hari nanti.

Kebaikan akan mendatangkan pahala
kejahatan akan mendatangkan dosa
Itulah balasan bagi tindakan manusia
Dari Allah yang Maha Kuasa.

Episode bergulir seperti sebuah roda putar
Kadang mendapat pahala…kadang berbuat dosa
Mengumpulkan amal dalam tempaan berinteraksi dengan sesama
Berharap karunia dari Allah yang Maha Pencipta

Terus ditempa di dunia, sampai ajal tiba
Lalu menunggu di alam kubur, hingga kiamat tiba
Diakherat dihitung amal perbuatannya
bertanggung jawab terhadap amal perbuatannya.

Selasa, 27 April 2010

Renungan Kekurangan Diri

Awal malapetaka dan kehancuran seseorang terjadi ketika penyakit sombong dan merasa diri paling benar bersemayam dalam hatinya. Inilah sifat yang melekat pada iblis. Sifat inilah yang berusaha ditransfer iblis kepada manusia yang bersedia menjadi sekutunya.

Sifat ini ditandai dengan ketidaksiapan untuk menerima kebenaran yang datang dari pihak lain; keengganan melakukan introspeksi (muhasabah); serta sibuk melihat aib dan kesalahan orang lain tanpa mau melihat aib dan kekurangan diri sendiri.

Padahal, kebaikan hanya bisa terwujud manakala seseorang bersikap rendah hati (tawadu); mau menyadari dan mengakui kekurangan diri; melakukan introspeksi; serta siap menerima kebenaran dari siapa pun dan dari mana pun. Sikap seperti ini sebagaimana dicontohkan oleh orang-orang mulia dari para nabi dan rasul.

Nabi Adam AS dan Siti Hawa saat melakukan kesalahan dengan melanggar larangan Tuhan, alih-alih sibuk menyalahkan iblis yang telah menggoda dan memberikan janji dusta, mereka malah langsung bersimpuh mengakui segala kealpaan seraya berkata, "Ya, Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri. Jika Engkau tidak mengampuni dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang merugi." (QS Al-A'raf [7]: 23).

Demikian pula dengan Nabi Yunus AS saat berada dalam gelapnya perut ikan di tengah lautan. Ia tidak menyalahkan siapa pun, kecuali dirinya sendiri, seraya terus bertasbih menyucikan Tuhan-Nya. Ia berkata, "Tidak ada Tuhan selain Engkau. Mahasuci Engkau. Sesunguhnya, aku termasuk orang-orang yang zalim." (QS Al-Anbiya [21]: 87).

Bahkan, Nabi Muhammad SAW selalu membaca istigfar dan meminta ampunan kepada Allah SWT sebagai bentuk kesadaran yang paling tinggi bahwa tidak ada manusia yang sempurna. Karena itu, ia harus selalu melakukan introspeksi. Beliau bersabda, "Wahai, manusia, bertobatlah dan mintalah ampunan kepada-Nya. Sebab, aku bertobat sehari semalam sebanyak seratus kali." (HR Muslim).

Begitulah sikap arif para nabi yang patut dijadikan teladan. Mereka tidak merasa diri mereka sudah sempurna, bersih, dan suci. Allah SWT berfirman, "Janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui orang yang bertakwa." (QS Annajm [53]: 32).


Karena itu, daripada mengarahkan telunjuk kepada orang, lebih baik mengarahkan telunjuk kepada diri sendiri. Daripada sibuk melihat aib orang, alangkah bijaknya kalau kita sibuk melihat aib sendiri. Dalam Musnad Anas ibn Malik RA, Nabi SAW bersabda, "Beruntunglah orang yang sibuk melihat aib dirinya sehingga tidak sibuk dengan aib orang lain."

Rabu, 14 April 2010

Aku

Aku adalah aku
telah kususuri perjalanan hidupku ini
saat siang maupun malam
saat pagi maupun petang
ketika bangun maupun tidur
ku lihat selalu kedalam diriku ini
bahwa aku adalah aku

cobalah kau lihat diriku ini...
sejak dahulu begini adanya…..
aku akan tetap menjadi aku
karena aku adalah aku

Tidak seperti kamu
tidak pula seperti dia
aku selalu aku selamanya
karena aku adalah aku

Tak berkilau emas permata
juga aku tak bertabur intan berlian mutiara
aku bukan pewaris mahkota dan tahta
namun aku pun bukanlah budak harta

Apa yang ada padaku
tidak ada yang dapat kau banggakan
namun juga tak dapat kau hina
biarlah aku akan terus menjadi aku
karena aku adalah aku

jangan memaksaku untuk menjadi dia
atau seperti kamu
Biarkan aku jadi diriku
karena aku adalah aku

Dan aku adalah bukan dia
Aku, kamu dan dia pasti berbeda
biarkan semua seperti ini
begini adanya

karena kita semua berbeda
dalam perbedaan kita, akan tercipta
sebuah keindahan
bagi hidup dan kehidupan

aku, kamu, dan dia
kita semua indah dalam perbedaan
jangan pernah berfikir aku adalah kamu
atau aku adalah dia
namun sesungguhnya
aku adalah aku

Kamis, 01 April 2010

Hanya Ada 3 Hari Dalam Hidup Ini

HARI KEMARIN

Kamu tak bisa mengubah apa pun yang telah terjadi.
Kamu tak bisa menarik perkataan yang telah terucapkan.
Kamu tak mungkin lagi menghapus kesalahan;
dan mengulangi kegembiraan yang kamu rasakan kemarin.
Biarkan hari kemarin lewat;
Lepaskan saja...


HARI ESOK

Hingga mentari esok hari terbit,
Kamu tak tahu apa yang akan terjadi.
Kamu tak bisa melakukan apa-apa esok hari.
Kamu tak mungkin sedih atau ceria di esok hari.
Esok hari belum tiba;
Biarkan saja...
Yang tersisa kini hanyalah :


HARI INI

Pintu masa lalu telah tertutup.
Pintu masa depan pun belum tiba.
Pusatkan saja diri kamu untuk hari ini.
Kamu dapat mengerjakan lebih banyak hal hari ini
Bila kamu mampu memaafkan hari kemarin
Dan melepaskan ketakutan akan esok hari.
Hiduplah hari ini.
Karena, masa lalu dan masa depan hanyalah permainan pikiran yang rumit.
Hiduplah apa adanya.
Karena yang ada hanyalah hari ini...
Perlakukan setiap orang dengan kebaikan hati dan rasa hormat,
Meski mereka berlaku buruk pada kamu
Cintailah seseorang sepenuh hati hari ini,
karena mungkin besok cerita sudah berganti.
Ingatlah bahwa kamu menunjukkan penghargaan pada
orang lain bukan karena siapa mereka, tetapi karena siapakah diri kamu sendiri
Jadi teman, jangan biarkan masa lalu mengekangmu
Atau masa depan membuatmu bingung



Lakukan yang terbaik HARI INI ! Dan lakukan SEKARANG juga... !!!